Sebelumnya saya mau cerita satu
kejadian yang bikin saya malu sekaligus senang saat praktikum Psikodiagnostika
I. Ketika roleplay awal tentang pengisian riwayat hidup, saya belum
mempersiapkan contoh untuk masing-masing bagian yang harus diisi di dalamnya,
seperti sekolah, pekerjaan, hobby, dan lain-lain. Jadilah saya mengimprovisasi
contoh-contoh tersebut, sampai pada Hobby, “Isilah bagian ini dengan kegiatan
anda sukai dan dilakukan secara rutin, contohnya MENGERJAKAN TUGAS.” Aku
terhenti ketika pembimbingku, waktu itu kang Ruhyat, dan teman-teman satu
kelompok seolah menahan senyum, dan kemudian aku sadar, mengerjakan tugas itu
bukan sesuatu yang normal untuk disukai. Dan improvisasi refleks itupun dibahas
kang Uya saat feedback.
Saya merasa malu, tentu. Tapi
sebenarnya saya juga merasa senang karena akhirnya saya menemukan passion saya.
Bukan hanya pada sekedar mengerjakan tugas tentunya, tetapi pada proses belajar
itu sendiri. Jantung saya berdebar kencang saat terlibat kelas yang interaktif
dan berbobot. Saya seperti mendapat papan permainan baru setiap saya mendapat tugas
menantang dari dosen. Dan saya sukarela menjadi ‘budak pengetahuan’ ketika saya
sudah berkeinginan untuk memahami suatu konsep secara mendalam. Suatu ketika
saya kesulitan pada suatu mata kuliah, dan sang dosen (salah satu dosen favorit
saya) memberi kesempatan untuk menambah poin nilai dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan beliau di grup facebook. Jadilah setiap ada pertanyaan
muncul, saya segera mencari tahu jawabannya dan langsung mempostingnya. Dan ada
teman yang komplain tentang bagaimana saya tidak memberi kesempatan yang lain
untuk menambah poin. Yang lucu adalah saat saya memberikan tenggat waktu pada
teman tersebut, “Jika sampai pukul 18.00 kamu tidak mengirimkan jawabannya,
maka saya yang akan mengirimnya,” (lha emangnya saya siapa? Dosennya aja nggak
ngasih deadline, ini sok-sokan ngatur waktunya).
Teringat perkataan sang kepala
sekolah dimana Brad Cohen berada (penderita Tourette Syndrome yang difilmkan
menjadi “Front of the Class”),
Principal : "What is school for, Brad?"Brad : "I am sorry I disturb the class." (Kurang lebih begitu kata-katanya, agak lupa)Principal : "You’re not answering my question. What is school for?"Brad : (silent)Principal : "TO EDUCATE, right?"
Yang saya tangkap disini, tugas mendidik bukan
hanya dibebankan pada guru, tapi juga sebaliknya. Murid juga memberikan
pendidikan bagi guru dan teman-temannya dengan keunikannya masing-masing. Saya
tahu saya tidak akan selamanya berkedudukan sebagai pelajar atau mahasiswa,
yang berarti saya harus meninggalkan atmosfer akademik yang saya cintai. What
can I do then?
Profesi utama saya sebagai ibu rumah tangga professional
(cek filosofi tentang ini di komunitas Ibu Profesional), memberikan kesempatan
bagi saya untuk menciptakan atmosfer tersebut di dunia yang kalo kata Sarah
Sechan :
sarah sechan @sarseh · Oct 2 arrived at home! home is where i can be close to the superstar of my life, my li'lWarrior. home is where i do what i do best; be a mother.
Saya belajar mendidik dan dididik anak-anak,
belajar menjalankan rumah tangga, belajar menuju istri cerdik yang solehah (ini
mars istri yang wajib didengar, cek liriknya di sini), dan belajar tentang fase
selanjutnya dari kehidupan. Ini tempat yang paling tepat dan nyaman untuk
mengekspresikan passion saya dengan bebas. Tapi saya sadar, saya perlu mengasah
kemampuan saya dalam menciptakan atmosfer akademik ini, salah satunya adalah dengan
cara terlibat kembali dalam proses belajar formal. How?
1. Becoming a lecturer! Keinginan ini diawali
oleh bang Ippho :
@R_Dhewie75 IPK di dunia kuliah itu berpengaruh nggak untuk kesuksesan? :)Ippho Santosa @ipphoright · Aug 28 Iya. Kalau kt bercita-cita jd dosen atau peneliti
That’s why saya suka histeris saat
Ferra mendapat nilai A dan saya B pada suatu mata kuliah (an excuse to support
my ambitiously competitive side-which is hazardous).
Dari dosen-guru, saya tidak hanya belajar tentang ilmu
pengetahuan, but the most crucial is when I can learn how they teach, the way
they transfer knowledge and facilitate students curiousity, even their fashion
style (hehe), sebagai amunisi saya untuk menjadi pendidik seperti mereka nantinya.
2. KULIAH lagi! Yeaay, dengan begitu saya
bisa menjadi mahasiswa ‘resmi’ lagi (because actually we are the students all
the time). Kuliah bukan hanya tentang mengejar karir, tapi kuliah adalah salah
satu bekal penting yang harus dibawa ketika kita menjalankan kehidupan nyata.
Dan yang harus direnungkan adalah, kamu cinta nggak sama kuliah? Karena kalo
kamu nggak cinta, masih banyak kok cara lain untuk mendapat karir yang bagus
(Bob Sadino, lulusan SMP yang jadi pengusaha kaya –raya, Bill Gates dan Mark
Zuckerberg, dropped out dari Harvard dan jadi jutawan berkat passion-nya di
bidang teknologi, dan masih banyak contoh lain yang bisa sukses tanpa kuliah).
Dosen saya pernah heran, saat beliau
menceritakan tentang metode eksperimen yang ternyata banyak sekali macamnya,
saya dengan antusias mengatakan, “asyik ya Pak.” Beliau cerita kalo kebanyakan
mahasiswa menghindari materi yang rumit, bukannya berusaha menyelami materi
tersebut. Saya bersyukur dikaruniai Ferra yang bisa menjelaskan Statistika yang
menurut saya rumit, Nana yang bikin saya penasaran dengan eksperimen, dan semua
teman-teman saya dengan keahliannya masing-masing yang nggak berhenti menambah
referensi kehidupan saya.
Maka kuliah juga diperlukan cinta,
dengan begitu kita nggak bakal menggerutu saat mendapat tugas yang menumpuk,
nggak bakal berkompromi sama aturan kampus yang udah fixed, nggak bakal duduk paling belakang supaya bisa sambil main
hape pas dosen nerangin, dan menikmati setiap proses dalam kuliah dengan
bahagia (mau lulus cepat, tepat waktu, ataupun telat karena ingin skripsi yang
sempurna, you’ll have a big smile at the end). (Intermezo: saya pernah
menggerutu saat kebanyakan tugas, tapi setelah saya mengobrol dengan salah
seorang kakak kelas (a.Royan), ternyata masalahnya bukan pada jumlah atau bobot tugasnya,
melainkan hanya karena MANAJEMEN WAKTU!) Lebih jelasnya tentang lanjut kuliah, baca
di artikel ini.
Jadi, pekerjaan full time saya adalah
ibu rumah tangga, dengan pekerjaan part time-nya sebagai dosen (dan peneliti, aamiin). Kenapa? Karena
begitu saya berhasil mendidik anak-anak saya untuk menjadi individu yang lebih
baik dari waktu ke waktu, maka saya juga akan berhasil mendidik
mahasiswa-mahasiswa saya nantinya, insya Alloh.
Comments
Post a Comment