Sudah saya bilang sebelumnya
kalau Pembibitan itu bukan awal dari perjalanan saya tapi ia adalah awal dari
ketetapan hati saya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Sebelumnya saya
sudah memastikan bahwa saya akan bersekolah di dalam negeri saja, mengingat
kondisi saya yang sudah “turun mesin”. Padahal sebelumnya lagi, sejak kecil saya
menggebu-gebu ingin sekolah ke luar negeri, sampai saya mengoleksi lirik lagu
bahasa Inggris (catat, bukan kaset atau CD-nya, melainkan catatan liriknya,
haha), beraniin diri datang ke pameran sekolah Kanada di hotel bintang lima
yang notabene di tahun itu masih langka dan yang hadirnya itu orang kaya semua,
ikutan kursus bahasa Inggris yang murah bareng temen se-geng, nangis-nangis
pengen kursus bahasa Inggris yang bonafid dan mahal tapi nggak diizinin Ibu
Suri (tapi Alhamdulillah akhirnya dapat kesempatan ikut Pembibitan) dan sampai
di awal kuliah: majang foto gedung departemen psikologi-nya Stanford University
di wallpaper netbook (meski sampai sekarang belum dapet kesempatan kesana).
Jadi setelah Pembibitan itu saya
mulai nyicil ngerjain essay, surat rekomendasi, dan persyaratan-persyaratan
lainnya untuk mendaftar ke universitas dan penyedia beasiswa. Untuk beasiswa,
awalnya saya berencana untuk mendaftar ke LPDP, Fulbright, dan AAS. Tetapi
setelah mempertimbangkan kebelumpunyaan penghasilan tetap dan keinginan untuk
membawa keluarga, yang sanggup mengcover itu hanyalah LPDP. Jadilah saya fokus
mendaftar ke situ. Yang ingin saya garisbawahi disini adalah LPDP tidak
mensyaratkan LoA namun lampirkan jika ada. Jadi kita bisa sambil daftar ke
universitas sambil daftar ke LPDP juga, jangan nunggu salah satu, pokoknya apa
yang bisa kita kerjain duluan ya langsung kerjain.
Atas bantuan berbagai pihak,
selesailah saya memasukkan berkas ke pendaftaran online beasiswa LPDP di
tanggal-tanggal mepet. Dan kegalauan belum berhenti, saya harus menunggu
pengumuman selanjutnya yang tiap harinya terasa lamaaa sekali. Sayapun
menyibukkan diri kembali dengan mengurus anak, mengajar, dan memasukkan
aplikasi ke beberapa universitas (ini nanti ceritanya misah lagi ^_^). Sampai
pada tanggal 25 Maret keluarlah pengumuman bahwa saya lolos seleksi
administratif. Alhamdulillah. Menyusul tanggal 1 April datanglah undangan
seleksi wawancara untuk tanggal 4-5 April di Graha Syawala, Gedung AA Maramis
II, Kementerian Keuangan, Jakarta. Jadwal wawancara akan diberitahukan pada
hari H, jadi kita wajib datang pas pembukaan.
Seperti biasa, mobilitas saya
memiliki paket, yang terdiri dari Mamah, Keke, dan Firyal. Pada Kamis sore kami
berempat berangkat ke Bekasi (untuk ikut menginap dulu di rumah Wa Dede). Dan
keesokan paginya saya berangkat naik kereta ke Jakarta. Sampai di Gedung AA
Maramis II, saya culang-cileung,
karena meski ramai, tapi nggak ada yang saya kenal satupun. Sayapun ikut
bergabung ke gerombolan orang dekat pintu masuk aula, sampai akhirnya saya
ketemu sosok-sosok yang saya kenal, Mira dan Kak Mary dari Pembibitan yang juga
ikut seleksi hari ini. Yeaay!
Di acara pembukaan, kembali saya
mendapat quotes yang ‘lucu’ dari Pak Eko Prasetyo (Dirut LPDP), “Saat ini
adalah saat-saat dimana kalian mendekatkan diri pada Tuhan”, (silahkan
persepsikan masing-masing, hoho). Setelah mendapatkan jadwal, ternyata saya
kebagian untuk tahap LGD sore hari ini, dan wawancara besok pagi. Dan saya
kembali menunggu, kali ini bersama ratusan kandidat lainnya yang punya beragam
potensi, bermacam kepentingan, namun bermimpi sama: melanjutkan pendidikan.
Setelah berjam-jam duduk manis, diselingi
mengantri di meja verifikasi berkas, makan makanan bekal yang disiapkan Mamah
dan Uwa, lalu dipanggillah kelompok LGD 13 yang ada namaku untuk mengikuti LGD (informasi
tentang seleksi LGD LPDP bisa dipelajari di sini). Kami diberikan tema
tentang dihapusnya Ujian Nasional dan kebijakan terkait hal tersebut. Yang
membuka diskusi adalah orang yang tepat di samping saya, dan seperti otomatis, selain
beliau meminta saya menjadi notulen, saya jugalah yang diminta memberikan
pendapat pertama kali (hiks). Overall, letak tantangannya adalah saat dimana
saya harus menulis pendapat teman-teman sementara saya juga harus memikirkan
apa yang akan saya ‘pendapati’ lagi. Dan begitu LGD selesai, saya bergegas
pulang dan bertemu dengan paket tercinta (Mamah, Keke, dan Firyal), hehe.
Keesokan paginya, saya deg-degan
lagi mau bertemu dengan interviewer yang terdiri dari 2 orang akademisi dan 1
orang psikolog. Begitu nama saya dipanggil, saya berjalan cepat memasuki
ruangan, dan akhirnya bertatap muka dengan ketiga interviewer saya (saya belum
sempat menanyakan nama-nama beliau, semoga bisa bertemu di lain kesempatan).
Awalnya wawancara berlangsung lancar, mulai dari diminta menceritakan
kegiatan-kegiatan organisasi yang saya tulis di CV, jurusan dan universitas
yang akan diambil, dan sampai pada kegiatan sehari-hari.
Iter 1 : Pekerjaannya apa?
Saya : Asisten dosen Bu, ngajar seminggu sekali.
Iter 1 : Lah, terus sisa hari yang lain ngapain? (Iter 2 dan 3 :
menatap tajam)
Saya : Ngurus anak Bu.
Iter 1 : Oh udah punya anak. Ngapain ke luar negeri? Udah di dalam
negeri aja. Ke luar negeri kan bisa jalan-jalan aja ntar.
Saya : (tersenyum miris-harap-harap-cemas) Saya pengen ke luar
negeri dari SMP Bu, Pak, kan pasti beda atmosfer belajar di sini dan di luar
negeri. Blablabla…
Dan seterusnya interviewer
membahas topik ini serasa lamaaa sekali (emosi saya menjadi naik-turun disini). Di akhir wawancara saya
diminta menjelaskan tentang harapan (topik penelitian saya) dalam perspektif Islam (alhamdulillah sebelumnya
juga saya sempat mendapat pendalaman tentang ini dari ngobrol dengan Pak Irfan dan Pak
Agus, makasih banyak dosen-dosenku ^_^). Begitu keluar dari ruangan wawancara, rasanya ingin
nangis. Karena kalau kata kak Mary, begitu selesai wawancara biasanya suka
kerasa kita bakal keterima atau nggak. Sedangkan saya, feelingnya masih 50:50.
Biarlah, yang penting saya sudah ikhtiar, sekarang tinggal pasrah pada Allah.
Lagipula saya menjadi tenang saat
teringat kata-kata Ibu Suri. Semua hal yang berasal dari luar diri kita dan
akan bergabung dengan diri kita itu tergantung pada ‘jodoh’ yang sudah
ditentukan Allah. Maka saya yakin, sebanyak apapun kekurangan kita, selama itu
sebenar-benar diri kita, kalau udah jodoh sama LPDP, ya bakal keterima.
Sebaliknya, sehebat apapun kita, kalau nggak jodoh, ya nggak akan bersatu. Jadi
di ujung jalan nanti nggak akan ada yang saling menyalahkan, entah itu
menyalahkan diri sendiri, ataupun menyalahkan pihak lain, karena sudah ‘jodoh’.
Itulah kenapa saya ngasih judul tulisan ini, “Dan Ku Bisa dengan Radarku
Menemukanmu, LPDP”, yang saya kutip dari lirik lagu Perahu Kertas-nya Maudy
Ayunda. Hehe.
Dan 2 minggu kemudian, pada tanggal 21 April, pengumuman itupun datang. Kutemukan namaku tertulis di lampiran Surat Keputusan Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia Tahap II Tahun 2014 tersebut. Alhamdulillah. Rasanya seperti ‘bucat bisul’, namun bisulnya masih ada beberapa lagi. Perjuangannya belum berhenti sampai disini, karena saya wajib mengikuti Program Kepemimpinan sebagai tahap seleksi terakhir.
(to be continued)
Sista... subhanalloh. Terharu sekali baca tulisan ini. Ternyata beberapa bulan ini sudah banyak cerita hidupmu yang terlewat olehku *ceila* Mungkin akunya juga sekarang yang sibuk tak menentu jadi bahkan nanyain kabar aja gak sempet :( *teman macam apa aku ini hehehe* Alhamdulillah yah.. Lanjut ditelpon yah komennya heheheheh mwah
ReplyDeleteiyaa.. kangeun berat lah sist.. :* makasih yah teleponnya, made me feel better. :)
ReplyDeleteCongratz, Ijah. Keep writing and inspiring, dear :-)
ReplyDeleteMakasih saaay :* You too!
Delete