Skip to main content

My First Scientific Performance


Jadi gini, sejak kecil saya sudah tergila-gila dengan go international, sok-sok ikutan pameran pendidikan luar negeri lah, dengerin lagu-lagu bahasa Inggris lah, bikin foto gedung-gedung universitas top dunia jadi wallpaper komputer lah, dan lain sebagainya. Dan ini berlanjut sampai saya kuliah, begitu skripsi psikologi saya selesai, abstraknya saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris (dengan koreksian dari Fauzan dan Noey, thanks guys!) dan saya kirimkan ke beberapa konferensi internasional (tanpa memikirkan darimana biayanya ataupun bagaimana saya akan mempresentasikannya). Ternyata abstrak saya itu diterima di ISEPSS (International Symposium on Education, Psychology, and Social Sciences) di Malaysia. Tetapi biayanya tinggi sekali dan meskipun saya berhasil mendapat sumbangan dan pinjaman untuk pendaftarannya, tapi ternyata dengan berbagai halangan akhirnya saya tidak jadi mendaftar ke symposium itu. Kemudian datanglah email dari ICP HESOS (International Conference on Psychology in Health, Education, Social, and Organizational Settings) yang menyatakan bahwa paper saya bisa dipresentasikan disana. Alhamdulillah dana sumbangan juga dapat dialihkan ke konferensi tersebut, selain itu lokasinya lebih dekat, di Universitas Airlangga, Surabaya.

Saya mulai bekerja lagi menerjemahkan rangkuman skripsi saya ke dalam bahasa Inggris, juga browsing bagaimana cara, tips, dan trik untuk presentasi dalam suatu konferensi. Ada cerita yang cukup membuat saya malu ketika saya meminta tolong penerjemah online untuk membantu memeriksa hasil terjemahan saya. Ketika kami nego harga, beliau bilang harganya 15ribu, dan saya langsung setuju tanpa menyadari bahwa 15ribu itu harga perlembar bukan keseluruhan. Setelah saya tahu kalau itu harga perlembar, sayapun dengan ikhlas membatalkan order itu, karena saldo tabungan saya saat itu hanya 50ribu. Tapi ternyata kemudian sang penerjemah memberikan harga 15ribu itu untuk keseluruhan paper saya (mungkin kasihan atau memang bisa merasakan yang saya rasakan ya, hehe). Woow, dengan malu-malu sayapun akhirnya melakukan transaksi tersebut. Terimakasih mas penerjemah, semoga Allah membalas kebaikanmu berlipat ganda.

Untuk mengikuti konferensi ini (tanggal 21-23 September 2013), saya harus izin beberapa hari dari Pembibitan Alumni PTAI, dan alhamdulillah izin tersebut diberikan oleh panitia. Berangkatlah saya ke Surabaya ditemani Firyal dan suami, Alhamdulillah dengan tiket promo kami bisa naik pesawat. Ini pertama kalinya saya naik pesawat dalam keadaan sadar (saya pernah naik pesawat sewaktu kecil, tapi lupa bagaimana rasanya). Kami menginap di tempat salah satu kawan di Andes, dan untuk mencapai tempat konferensi membutuhkan waktu 2 jam perjalanan dengan angkutan umum. Hari pertama saya melakukan registrasi ulang, dan langsung pulang karena jadwal saya presentasi adalah esok harinya.

Tibalah hari dimana saya akan menjadi oral presenter. Saya hadir sejak pagi untuk menyimak materi dari Prof. Esther Care (University of Melbourne) terlebih dahulu, sementara Firyal dan ayahnya beristirahat di masjid Universitas Airlangga. Dan disitu saya baru merasa kalau ternyata saya hanya secuil dari sekian banyak orang di dunia yang memiliki concern yang sama di bidang psikologi, dan tiba-tiba saya merasa kesepian karena tidak ada yang saya kenal disitu. Sayapun mencoba berkenalan dan berbaur dengan segelintir orang di radius 1 meter sekitar saya. Selain itu saya terkadang membuka Twitter untuk mengalihkan rasa sepi saya. Dan tadaaa, salah seorang dosen saya ternyata ikut ICP HESOS juga, dosen idola saya tepatnya, Pak Hendro Prakoso. Saya mulai mencari-cari sosok beliau dan baru berhasil bertemu saat makan siang. Kamipun mengobrol sampai suami saya datang mengantarkan Firyal. Di ruang makan, Firyal menjadi pusat perhatian peserta lainnya. Dan salah seorang Professor dari China berkata, “She is the youngest participant in this conference”. Hihihi.
Pose di depan Universitas Airlangga.
Seusai istirahat saya menyaksikan Pak Hendro yang mendampingi mahasiswanya dari Unisba presentasi. Saya agak merasa jealous, karena saya juga mahasiswa beliau, dan saya juga ingiiiin sekali dibimbing beliau seperti itu. Hehe.

This is the second time I watch Pak Hendro's perform at scientific events. (Always admire him)
Sore harinya barulah giliran saya presentasi. Rasanya seperti … presentasi … hanya dalam bahasa Inggris. Dan audience yang saya kenal cuma Pak Hendro, dan seorang dosen Universitas Surabaya yang mengangguk-angguk saat saya presentasi. Saya yakin penampilan ilmiah pertama saya ini banyak sekali kekurangan atau bahkan kesalahan, entah dalam hal riset itu sendiri atau dalam hal teknis, tetapi saya menjadikan itu semua sebagai pelajaran, karena seperti yang pernah saya obrolkan bersama teman, “Lakukan semua hal yang kamu bisa sekarang, mumpung masih mahasiswa, karena saat kamu di dunia professional nanti, tidak akan ada lagi yang akan mentolerir kesalahanmu.”

Comments

Popular posts from this blog

Dan Ku Bisa dengan Radarku Menemukanmu, LPDP

Sudah saya bilang sebelumnya kalau Pembibitan itu bukan awal dari perjalanan saya tapi ia adalah awal dari ketetapan hati saya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Sebelumnya saya sudah memastikan bahwa saya akan bersekolah di dalam negeri saja, mengingat kondisi saya yang sudah “turun mesin”. Padahal sebelumnya lagi, sejak kecil saya menggebu-gebu ingin sekolah ke luar negeri, sampai saya mengoleksi lirik lagu bahasa Inggris (catat, bukan kaset atau CD-nya, melainkan catatan liriknya, haha), beraniin diri datang ke pameran sekolah Kanada di hotel bintang lima yang notabene di tahun itu masih langka dan yang hadirnya itu orang kaya semua, ikutan kursus bahasa Inggris yang murah bareng temen se-geng, nangis-nangis pengen kursus bahasa Inggris yang bonafid dan mahal tapi nggak diizinin Ibu Suri (tapi Alhamdulillah akhirnya dapat kesempatan ikut Pembibitan) dan sampai di awal kuliah: majang foto gedung departemen psikologi-nya Stanford University di wallpaper netbook (meski sampa...

Jadi Mahasiswa (Lagi)

Yang bikin saya bahagia dan rela jauh-jauh datang ke New Zealand bukan cuma karena ini adalah negara yang indah dan bisa memuaskan hasrat jalan-jalan para tourists, tapi lebih kepada kesempatan belajar yang saya beruntung banget bisa mendapatkan salah satunya. Ah, ribet banget introductionnya. Langsung aja ya ke cerita saya tentang pertama kali masuk kelas. Preparation Kalo ini saya jadi inget beberapa mata kuliah di UIN dulu (kayak Psikodiagnostika dan Psikologi Abnormal) yang sebelum masuk kelas itu otaknya harus udah ada isinya, kecuali kalo mau dibikin malu atau nggak dapet nilai tambahan. Di AucklandUni ini juga ada salah satu dosen dari empat courses yang saya ambil, yang udah posting bahan kuliahnya sejak 1 bulan sebelum mulai kuliah, oh wow. Belum apa-apa udah ngerasa overwhelmed aja. Tapi karena jalan ini yang sudah saya pilih, insyaAllah saya akan terus berusaha melanjutkan dan menikmatinya. Mata kuliah lain mulai menyusul memberikan silabus dan reading list-nya bebera...

Student Visa ke New Zealand

Hari pengumuman kelulusan PK kemarin juga merupakan hari dimana saya mendapatkan Unconditional LoA dari University of Auckland, sekaligus Letter of Guarantee (LG) dari LPDP. Sejak sebelumnya saya sudah gelisah karena khawatir proses pengajuan visa pelajar ke New Zealand akan memakan waktu lama, tapi saya percaya Alloh yang Menentukan waktu-waktu eksekusi kehidupan saya yang diamanahkan melalui pihak-pihak lain (seperti LPDP dan University of Auckland), karena saya sudah berikhtiar, tinggal pasrah dan menunggu eksekusi tersebut. Dan begitu semua ‘surat jalan’ tersebut datang di hari yang sama, keesokan harinya saya langsung mengajukan visa. Tapi sebenarnya masih belum mengajukan visa secara harfiah, karena ternyata setelah itu masih ada beberapa ‘insiden’, seperti LG asli harus disertakan di aplikasi visa (yang berarti saya harus ke LPDP dulu mengambil surat fisiknya), nama passport yang berbeda dengan nama KTP (sehingga saya harus mengajukan revisi nama di LG terlebih dahulu agar ...