Skip to main content

Idealis terhadap Realitas



Setelah baca postingan blog terbarunya sahabat saya, Dedew, khususnya kata-kata ini :
Keinget SMS-anku dengan salah seorang kawan, tentang realita vs idealisme.
"I need ur view, mana yang lebih baik, memilih idealis mengejar mimpi yang belum pasti, ato bersikap realistis menerima keadaan yang ada walau tidak memuaskan diri?"
"Saya tidak pernah sangat realistis ataupun idealis. Saya selalu milih di tengah-tengah. Pragmatis, kalau kata orang. Terima keadaan, tapi tetap berusaha mencapai mimpi. Kamu pikir kenapa saya tetep gini-gini aja sampai sekarang?"
"Gini-gini aja? Merendah nih?"
"Ya memang hidup saya gak ideal sih. Gak seideal yang saya pengen."
"Nah tu kan sudah terjadi. Di masa yang akan datang?"
"Diam-diam saya akan terus mengejar mimpi kok. :)"
Duuh. Betapa obrolan yang bikin saya mikir sampai sekarang (obviously, I'm an over thinker, too. I just don't show it off a lot). 

Saya teringat sesuatu dan jadi gatel pengen share tentang apa yang saya rasakan selama ini. Maksudku, kehidupan nyata memang seperti itu, dan ada juga saat-saat dimana kita mengalami gabungan dari kedua hal yang diobrolkan Dedew dengan kawannya diatas. Bahasanya masih diplomatis yah? Let me rephrase with the story version:
Ceritanya waktu kecil saya punya mimpi sekolah ke luar negeri dan berusaha mengejarnya walaupun sang realitas hanya memberikan sedikit pertanda tentang akan tercapai atau tidaknya mimpi itu. Kemudian saya menikah dan memiliki anak, saya memutuskan ‘menurunkan’ mimpi saya tentang pendidikan, tidak apa-apa di dalam negeri juga, yang penting lanjut kuliah sampai tingkat tertinggi. Selain itu, mimpi utama saya adalah mempersembahkan pendidikan yang terbaik untuk anak. Dan kenyataan hidup ‘memaksa’ saya untuk berpikir keras tentang bagaimana cara menyediakan layanan pendidikan terbaik dengan biaya seminimal mungkin. Mulai dari mempertimbangkan homeschool sebagai alternatif supaya nggak bayar sekolah bagus yang mahal tapi ternyata untuk homeschool juga minimal harus langganan koneksi internet cepat untuk bisa download bahan gratis dari internet dan printer berwarna untuk ngeprint material (atau biaya print di rental atau biaya beli kertas warna atau alat tulis atau lainnya). Belum lagi saya pengen banget beliin atau dapetin (hehe) buku-buku berkualitas buat anak saya, dan masih banyak lagi detail yang saya butuhkan untuk mempersiapkan layanan ini. Kenyataan ini semakin memaksa saya untuk melanjutkan mimpi-mimpi saya sebelumnya, because you know what, mimpi-mimpi ini bukan hanya menjadi mimpi saya sendiri dan Ibu Suri lagi, tapi di dalamnya sudah diisi penumpang yang bisa menuntun saya ke surga. Maka, mimpi ini adalah mimpi yang sudah ada isinya, nantinya tercapai atau tidak, saya sudah punya isi atau esensi dari mimpi itu. Dan ternyata kemudian Allah 'menyeret' saya ke mimpi masa kecil saya, kuliah ke luar negeri.
Geje ya ceritanya? Hehe. Intinya adalah ketika kita tetap bersikap idealis terhadap realitas, maka ‘tangan’ Allah yang bekerja (5 kata terakhir berasal dari nasehat salah satu dosen kesayangan saya). Mungkin definisi idealis buat setiap orang berbeda, menurut saya idealis itu adalah ketika kita berbuat sesuatu, ingin perbuatan itu berada dalam ridha Allah, dipersiapkan dan direncanakan dengan matang (walaupun hasilnya nggak persis banget sama yang direncanakan sebelumnya), dilakukan dengan sepenuh hati, dan udah bikin tata tertib tentang pelaksanaannya. 
Skemanya: pengen kuliah ke luar negeri (idealis) – punya anak (realitas) – menurunkan mimpi (fleksibilitas bukan ini namanya?) – ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anak (idealis) – kondisi hidup yang belum memungkinkan (realitas) = akhirnya dibantu Allah mencapai mimpi semula untuk bisa memberikan pendidikan terbaik untuk anak (idealis terhadap realitas).
Jadi kemanapun atau bagaimanapun kita melangkah, yang penting berusaha agar langkah kita diridhai Allah, karena itulah kesuksesan sebenarnya: mendapat ridha Allah. (Salut dan terharu sama Dedew, especially di paragraf terakhir postingannya, 
"Dan semoga, jika mimpi itu baik, dan baik menurut Allah, mimpi itu akan segera terwujud dalam bentuk yang paling diridhoi-Nya. Asal jangan nyerah buat nyicilnya aja. Aamiin. :) Jadi, kamu sudah nyicil mimpi sampai mana nih?"

Comments

  1. I'm really lucky to have you as my best-est (saking best-nya hehe) friend ever. Saling menyemangati ya jangan putus2! Hihi karena itulah gunanya bersahabat *hugs teu eureun2*

    ReplyDelete
    Replies
    1. I'm extremely grateful to have you as my best-est and gabanest friend ever, too, sist! Iyaaa siyaaappp.. *eungap dihugs tarik teuing* *balas puk-puk* hihi..

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Undang-Undang Persahabatan

Pasal 1 http://www.google.com/ ( forget the identific source ) Mengenal Mengenal dan memahami lebih dekat kepribadian sahabat Menerima sahabat apa adanya Membiasakan diri dengan kebiasaan sahabat Pasal 2

Jadi Mahasiswa (Lagi)

Yang bikin saya bahagia dan rela jauh-jauh datang ke New Zealand bukan cuma karena ini adalah negara yang indah dan bisa memuaskan hasrat jalan-jalan para tourists, tapi lebih kepada kesempatan belajar yang saya beruntung banget bisa mendapatkan salah satunya. Ah, ribet banget introductionnya. Langsung aja ya ke cerita saya tentang pertama kali masuk kelas. Preparation Kalo ini saya jadi inget beberapa mata kuliah di UIN dulu (kayak Psikodiagnostika dan Psikologi Abnormal) yang sebelum masuk kelas itu otaknya harus udah ada isinya, kecuali kalo mau dibikin malu atau nggak dapet nilai tambahan. Di AucklandUni ini juga ada salah satu dosen dari empat courses yang saya ambil, yang udah posting bahan kuliahnya sejak 1 bulan sebelum mulai kuliah, oh wow. Belum apa-apa udah ngerasa overwhelmed aja. Tapi karena jalan ini yang sudah saya pilih, insyaAllah saya akan terus berusaha melanjutkan dan menikmatinya. Mata kuliah lain mulai menyusul memberikan silabus dan reading list-nya bebera...

Student Visa ke New Zealand

Hari pengumuman kelulusan PK kemarin juga merupakan hari dimana saya mendapatkan Unconditional LoA dari University of Auckland, sekaligus Letter of Guarantee (LG) dari LPDP. Sejak sebelumnya saya sudah gelisah karena khawatir proses pengajuan visa pelajar ke New Zealand akan memakan waktu lama, tapi saya percaya Alloh yang Menentukan waktu-waktu eksekusi kehidupan saya yang diamanahkan melalui pihak-pihak lain (seperti LPDP dan University of Auckland), karena saya sudah berikhtiar, tinggal pasrah dan menunggu eksekusi tersebut. Dan begitu semua ‘surat jalan’ tersebut datang di hari yang sama, keesokan harinya saya langsung mengajukan visa. Tapi sebenarnya masih belum mengajukan visa secara harfiah, karena ternyata setelah itu masih ada beberapa ‘insiden’, seperti LG asli harus disertakan di aplikasi visa (yang berarti saya harus ke LPDP dulu mengambil surat fisiknya), nama passport yang berbeda dengan nama KTP (sehingga saya harus mengajukan revisi nama di LG terlebih dahulu agar ...