Skip to main content

Dan Ku Bisa dengan Radarku Menemukanmu, University of Auckland



Ini ceritanya kayak sinetron, saya berkali-kali jatuh cinta pada beberapa universitas di luar negeri. Mulai dari SMP saya ingin ke Columbia University karena sempat ikut pameran tentang program persiapan masuk kuliah ke situ. Di usia SMA saya jatuh cinta dengan Yale University gara-gara nonton Gilmore Girls, dan yang menghentak pikiran saya waktu itu adalah saat saya mengobrolkannya dengan salah seorang teman, Fajar,

Saya       : “Pengen ya kuliah di Yale.”
Fajar      : “Emang bisa kitu.”
Saya       : “Iya mahal ya.”
Fajar      : “Bukan, emang kaotakan kitu.” (terjemah bebasnya: emang otak kamu nyampe gitu?)



Gubrak. Yang saya kagetkan adalah selama ini saya nggak sampai mikir kesitu, yang saya pikirkan cuma betapa mahalnya biaya untuk membeli atmosfer belajar di luar negeri. Tapi obrolan itu juga memicu saya untuk terus meningkatkan kemampuan saya supaya bisa internationally qualified (aheuy). Caranya? Saya suka banget nonton dan browsing tentang bagaimana proses belajar dan kehidupan disana, lalu mencoba menciptakan suasana tersebut disini, mulai dari gimana antusiasme saya di kelas, tingkat kompetitif saya yang berlebihan, sampai hafal produk-produk yang dipakai pemain film-film tentang kuliah di luar negeri (aih ini konyolnya saya, tapi saya kok seneng ya disebut konyol :p; ini juga sepertinya jawaban dari cerita Qyqy tentang saya). Saya juga tergila-gila sama kursus bahasa Inggris, mulai dari SMP saya ikut kursus bahasa Inggris dasar dengan harga pelajar, sampai waktu kuliah pas saya nemu kursus yang bagus, saya nangis-nangis minta ikut kursus itu ke Ibu Suri dan nggak diizinin, beliau bilang, “Nggak ada uangnya, Teh, ntar geura Teteh bakal dapet ilmu itu tanpa bayar.” Dan memang ramalan Ibu Suri jarang meleset, Alhamdulillah di kemudian hari saya mendapat kursus bahasa Inggris gratis tersebut melalui Pembibitan PTAI tea. Saya juga seneng banget sama buku-buku berbahasa Inggris, makanya saya sengaja ngerjain skripsi dengan teori yang belum ada buku bahasa Indonesianya, jadi bisa nerjemahin dikit-dikit sambil belajar buku berbahasa Inggris itu. Makanya saya juga super-duper excited waktu sahabat saya, Dedew, ngasih kado ultah buku cerita berbahasa Inggris yang judulnya Lemony Snicket: A Series of Unfortunate Events Volume 1 dan 2 (Makasih sistaaa! That’s my first English book ^_^).

Semasa kuliah, saya pindah ke lain hati: Stanford University yang waktu itu mendapat ranking 1 dunia untuk jurusan psikologi. Tapi agak jiper juga ketika saya mendengar gosip kalau Stanford lebih memprioritaskan untuk menerima mahasiswa laki-laki ketimbang perempuan (kecuali kalau perempuan itu punya sesuatu yang outstanding-which I don’t think I have something outstanding to sell yet, except for a big dream). Saya mencoba melirik Harvard University, dan saat tahu dari cerita Iman Usman kalau Harvard mengutamakan aspek akademik seperti GPA cumlaude, sayapun mundur teratur. Begitulah hati saya berpindah-pindah di berbagai universitas di dunia, seiring terus bergantinya wallpaper laptop saya (begitu saya menginginkan atau menargetkan sesuatu, biasanya saya pajang jadi wallpaper, hehe). 

Seiring dengan usia dan pengukuran spesifikasi diri (kondisi keluarga yang meminta saya untuk tidak pergi terlalu jauh, dan lain-lain), sayapun memindahkan impian saya ke lokasi yang lebih dekat, Australia. Lalu ketika saya mengunjungi pameran pendidikan Australia, saya mengetahui bahwa untuk kuliah psikologi disana harus mengikuti assessment dari Australian Psychological Society dulu, dengan biaya $600! Belum tentu lulus pula (tapi sebenarnya kalau saya ada rizki lebih, saya ingin ikutan assessment seperti itu, sekalian mengobati rasa penasaran saya, hehe). Di petualangan pencarian universitas ini, saya berjumpa dengan Agus di Pembibitan Alumni PTAI (satu almamater dengan saya), yang akan melanjutkan kuliahnya di University of Auckland, New Zealand. New Zealand? Saya penasaran dan mulai mencari tahu tentang ‘si dia’. Salah satu artikel yang membuat saya mulai jatuh hati pada negeri kiwi tersebut bisa dklik di sini. Dan sayapun menandai University of Otago dan University of Auckland sebagai pilihan target saya selanjutnya.

Persiapan pendaftaran pun dimulai, mulai dari merapikan personal statement yang dulu pernah dibuat sewaktu Pembibitan, meminta surat rekomendasi dari dosen-dosen, dan sebagainya, tak lupa mendaftar TOEFL iBT. Atas bantuan dari berbagai pihak, Alhamdulillah akhirnya terkumpul dana untuk ikut TOEFL iBT-yang biayanya $165. Saya mendapat skor 92, dan ternyata minimum English requirements Otago adalah 95, sehingga jika saya keukeuh ingin ke Otago, harus ikut TOEFL ulang. Sedangkan minimum-nya Auckland adalah 92, dengan writing 21 (pas-pasan banget!). Untuk ikut TOEFL ulang dengan kondisi sekarang itu belum memungkinkan, dan ternyata dengan radar ini, atas izin Alloh, saya seperti ‘dijodohkan’ dengan University of Auckland.

Dimulailah perjuangan saya memenuhi persyaratan dari conditional offer-nya Auckland: mengirimkan skor TOEFL dan CV via email, lalu mengirimkan persyaratan dokumen fisik via kurir (DHL) sampai dua kali. Hingga sang Unconditional Offer itupun tiba di tanggal yang sama dengan pengumuman kelulusan PK. Dan kubisa dengan radarku (dan penguat sinyalnya dari berbagai pihak) menemukanmu, University of Auckland.
http://ncsustudyabroad.files.wordpress.com/2011/11/campus.jpg

What I've Learned :
Persiapkan segala sesuatunya dengan matang dan sigap, jangan cuma pengen-pengen doang.
Berusaha seakurat mungkin mengukur spesifikasi diri sendiri, menentukan target yang sesuai spesifikasi tadi, dan memprediksi kegagalan, jadi kita nggak mentok di satu tempat dan bisa move on.
Bermimpilah dengan tanggung jawab! (bertanggung jawab dalam upaya dalam mengejar mimpi tersebut, terlepas dari mimpi itu menjadi kenyataan atau berpindah ke mimpi lain)

Comments

  1. TEH!!! INI KEREN SEKALIIII~~~~ *lupa matikan capslok*

    ReplyDelete
  2. Mbak Nuraini, salam kenal sebelumnya. Saya sedang dalam proses akan mendaftra ke univ of Auckland tahun ini. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Boleh saya minta email Mbak? Terimakasih.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Astari salam kenal,
      Silakan bisa ke technurlogy@gmail.com :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

It is (Not) the Beginning - Pembibitan Alumni PTAI 2013

Cerita ini dimulai sejak pelepasan alumni yang diadakan fakultas psikologi. Saat itu dekan mengumumkan bahwa ada peluang beasiswa ke luar negeri yang diprioritaskan untuk lulusan terbaik. Alhamdulillah untuk gelombang wisuda kali ini, saya menjadi lulusan terbaik dan tercepat. Seusai pelepasan, saya bergegas menghampiri Pak Agus-wakil dekan I (yang sudah mau masuk mobil), untuk bertanya lebih lanjut mengenai beasiswa tersebut. Beliau menjelaskan bahwa syarat lain yang harus saya penuhi adalah nilai TOEFL yang cukup, dan untuk pengumuman lebih detailnya, suratnya sedang difotokopi oleh Neyna-salah satu sahabat saya, jadi katanya nanti saya tinggal minta ke dia. Okay. Dan mulailah saya mencari-cari kursus TOEFL MURAH (yang sama sekali nggak mungkin murah) kemana-mana. Tapi kemudian saya memutuskan belajar sendiri dengan mengerjakan latihan di buku TOEFL (buku yang saya rekomendasikan untuk TOEFL ITP adalah “An Easy Way To Answer TOEFL” karya Otong Setiawan Djuharie). Saya juga mul...

Semester Terakhir di Postgraduate Diploma

Sebelumnya saya mau cerita soal skema studi yang harus saya lalui di Auckland Uni ini. Jadi studi master dengan total 2 tahun itu terdiri dari 1 tahun Postgraduate Diploma (PGDip) yang terdiri dari perkuliahan di kelas dan 1 tahun Master dengan penelitiannya. Jika nilai PGDip mencukupi, barulah saya diizinkan untuk lanjut ke Master. Alhamdulillah, meskipun dengan perasaan tegang sepanjang waktu karena di semester lalu nilai saya sedikit kurang memenuhi syarat, akhirnya di semester ini hasilnya lebih baik dan sayapun masih diberi kesempatan untuk melanjutkan Master. Berdasarkan pengalaman belajar semester sebelumnya, saya jadi lebih berhati-hati dalam memilih mata kuliah yang akan diambil di semester kedua ini. Kriteria yang saya pertimbangkan diantaranya:

Kia Ora

Menunggu Tahun ini adalah tahun dengan momen menunggu terbanyak sepanjang hidup, mulai dari menunggu Keke keluar kelas saat menjemputnya pulang sekolah, menunggu pengumuman seleksi beasiswa beberapa tahap, mengikuti proses pendaftaran universitas, menunggu visa keluar, menunggu pencairan dana setelah pengajuan, menunggu kabar atau konfirmasi dari pihak-pihak terkait keberangkatan, dan menunggu-menunggu lainnya. Tapi karena ini yang saya inginkan, maka menunggu itu menjadi suatu keindahan. Meskipun harus bertetes-tetes air mata, berdarah-darah, tetap saja rasanya nikmat (pada akhirnya). Setelah sesi menunggu visa berakhir, saya akhirnya mendapatkan tiket pesawat CGK-SYD-AKL untuk tanggal 18 Juli. Dan begitu melihat e-ticket masuk ke email saya, rasanya masih seperti mimpi. Beneran ini teh saya mau belajar ke luar negeri? Beneran ini teh saya mau ninggalin keluarga dan harus melewati masa menunggu yang menyiksa itu lagi? Beneran ini teh saya mau masuk ke kelas yang bahasanya full ...