Skip to main content

(Bukan) Teman Biasa

Ini pendapat subjektif ya.

Manusia nggak bisa hidup sendiri, bahkan Allah mengirim Hawa untuk menemani Adam. Sampai sekarang, saya nggak bisa nggak setuju tentang pentingnya ketidaksendirian alias teman. Entah itu ditemani orang tua, teman sebaya, pasangan, anak, atau bentuk lainnya. Walaupun kebutuhan akan teman itu akan berbeda-beda tiap orang, tiap usia, tiap lingkungan.

Kalau waktu remaja pertemanan itu seputar siapa lebih dekat sama siapa, siapa yang dijauhin sama siapa, siapa yang suka main bareng sama siapa. Waktu kuliah naik pangkat jadi siapa yang ada untuk siapa saat susah, siapa yang membocorkan rahasia siapa, siapa yang membantu belajar siapa. Dan ketika lulus menjadi, kapan bisa KETEMU siapa, siapa KEBETULAN ketemu siapa, siapa NYAMBUNG sama siapa. Dan kadang, meski siapa itu bisa jadi cuma satu-dua orang, tapi kenyambungan itu bisa jadi cuma satu arah (Disa, 2015). Jadi ternyata bukan cuma cinta yang bertepuk sebelah tangan, pertemanan juga bisa bertepuk sebelah tangan. Meski sebenarnya kupikir konsep cinta dan teman itu sama, cuma kan kalau bilang "I love you" sama teman biasanya memancing pemahaman yang beragam (satu kalimat ini aja, saya bisa habis dibully 1 jam sama teman-teman).

Dan sadar atau nggak, kebanyakan isi obrolan antar teman sangat berpotensi untuk ghibah. Maka kemana perginya niat untuk bergaul dengan orang-orang baik dan mengajak untuk berlomba-lomba dalam kebaikan?

Kembali ke bertepuk sebelah tangan, kadang karena saking cocoknya kita sama orang tertentu, kita jadi takut kehilangan dia, yang kemudian bikin kita bertingkah aneh (macam cemburu, dll), yang kemudian malah bisa bikin dia menjauh. Tapi tingkah kita juga sebenarnya bisa jadi tahap seleksi teman juga sih, yang pada akhirnya semoga ada yang bertahan sampai akhir dengan segala kepribadian palsu dan asli kita.

Yang harus diingat adalah, jangan sampai kebergantungan kita terhadap teman bikin kita lupa bahwa kebergantungan itu hanya milik Allah. Apa yang akan terjadi kalau kita bergantung sama makhluk ciptaan-Nya yang tidak abadi, dan tidak bisa menjanjikan apapun untuk menyelamatkan kita nantinya?

Comments

Popular posts from this blog

It is (Not) the Beginning - Pembibitan Alumni PTAI 2013

Cerita ini dimulai sejak pelepasan alumni yang diadakan fakultas psikologi. Saat itu dekan mengumumkan bahwa ada peluang beasiswa ke luar negeri yang diprioritaskan untuk lulusan terbaik. Alhamdulillah untuk gelombang wisuda kali ini, saya menjadi lulusan terbaik dan tercepat. Seusai pelepasan, saya bergegas menghampiri Pak Agus-wakil dekan I (yang sudah mau masuk mobil), untuk bertanya lebih lanjut mengenai beasiswa tersebut. Beliau menjelaskan bahwa syarat lain yang harus saya penuhi adalah nilai TOEFL yang cukup, dan untuk pengumuman lebih detailnya, suratnya sedang difotokopi oleh Neyna-salah satu sahabat saya, jadi katanya nanti saya tinggal minta ke dia. Okay. Dan mulailah saya mencari-cari kursus TOEFL MURAH (yang sama sekali nggak mungkin murah) kemana-mana. Tapi kemudian saya memutuskan belajar sendiri dengan mengerjakan latihan di buku TOEFL (buku yang saya rekomendasikan untuk TOEFL ITP adalah “An Easy Way To Answer TOEFL” karya Otong Setiawan Djuharie). Saya juga mul...

Semester Terakhir di Postgraduate Diploma

Sebelumnya saya mau cerita soal skema studi yang harus saya lalui di Auckland Uni ini. Jadi studi master dengan total 2 tahun itu terdiri dari 1 tahun Postgraduate Diploma (PGDip) yang terdiri dari perkuliahan di kelas dan 1 tahun Master dengan penelitiannya. Jika nilai PGDip mencukupi, barulah saya diizinkan untuk lanjut ke Master. Alhamdulillah, meskipun dengan perasaan tegang sepanjang waktu karena di semester lalu nilai saya sedikit kurang memenuhi syarat, akhirnya di semester ini hasilnya lebih baik dan sayapun masih diberi kesempatan untuk melanjutkan Master. Berdasarkan pengalaman belajar semester sebelumnya, saya jadi lebih berhati-hati dalam memilih mata kuliah yang akan diambil di semester kedua ini. Kriteria yang saya pertimbangkan diantaranya:

Kia Ora

Menunggu Tahun ini adalah tahun dengan momen menunggu terbanyak sepanjang hidup, mulai dari menunggu Keke keluar kelas saat menjemputnya pulang sekolah, menunggu pengumuman seleksi beasiswa beberapa tahap, mengikuti proses pendaftaran universitas, menunggu visa keluar, menunggu pencairan dana setelah pengajuan, menunggu kabar atau konfirmasi dari pihak-pihak terkait keberangkatan, dan menunggu-menunggu lainnya. Tapi karena ini yang saya inginkan, maka menunggu itu menjadi suatu keindahan. Meskipun harus bertetes-tetes air mata, berdarah-darah, tetap saja rasanya nikmat (pada akhirnya). Setelah sesi menunggu visa berakhir, saya akhirnya mendapatkan tiket pesawat CGK-SYD-AKL untuk tanggal 18 Juli. Dan begitu melihat e-ticket masuk ke email saya, rasanya masih seperti mimpi. Beneran ini teh saya mau belajar ke luar negeri? Beneran ini teh saya mau ninggalin keluarga dan harus melewati masa menunggu yang menyiksa itu lagi? Beneran ini teh saya mau masuk ke kelas yang bahasanya full ...