Skip to main content

Antara Organisasi dan Pertemanan (Kenapa Saya Unfollow Pak RK)

Minggu kemarin New Zealand kedatangan salah seorang tokoh keren dari Bandung, sebut saja RK. Melihat kontribusinya yang bejibun dan mengenang pertemuan saya dengan beliau jauh sebelum beliau menjabat, sudah bisa ditebak dong sebesar apa keinginan saya untuk ketemu lagi dengan beliau. Pada mulanya saya dengar dari salah satu teman bahwa beliau akan menghadiri dialog bersama mahasiswa Indonesia di Auckland, yang kemudian dibatalkan. Ini kayak sudah berharap sampai ke awan terus dibanting jatuh. Dan tiba-tiba di malam terakhir beliau di Auckland, saya mendengar kabar kalau ternyata pengurus organisasi sudah bertemu dengan beliau saat makan malam. Dan rasanya kayak dipukul pake pukulan dewa-nya Stephen Chow di Kung Fu Hustle. Yang saya kecewakan dan/atau sayangkan bukan cuma karena saya nggak jadi ketemu lagi dengan beliau, tapi juga:

1. Teman yang saya kira sudah sangat dekat dengan saya, yang kebetulan pengurus juga, malah nggak ngasih info sama sekali tentang pertemuan itu. Padahal kalaupun ngasih info, disertai keterangan, bahwa pengurus-pun mendapat info dari pihak ketiga sehingga tidak enak kalau membawa mahasiswa lain selain pengurus untuk menemui RK, saya tidak akan keberatan untuk tidak ikut. Setidaknya saya tahu perkembangannya dan tidak tahu kabar tentang pertemuan itu dari yang lain.

2. Pengurus organisasi perwakilan mahasiswa yang memiliki grup media sosial yang bisa dibilang bersifat cukup kekeluargaan, sudah selayaknya mengumumkan kejadian sepenting itu, semendadak apapun, sebelum terjadi. Sikap ini bermanfaat untuk mencegah anggota-nya merasa didahului ataupun prasangka-prasangka dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Kalau memang sudah curi start seperti itu, sekalian saja nggak perlu kasih pengumuman apa-apa. Analogi simpelnya semacam: si A teman dekat si B, si A jalan-jalan ke tempat yang A tahu kalau B juga bakal suka, tapi karena seat-nya penuh, dia nggak bisa ngajak, karena nggak enak, sekalian aja nggak dibilangin, yang kemudian berdampak pada kekagetan dan kekecewaan B yang mungkin berpikir, senggaknya kasih tahu kamu mau pergi kesitu dan seatnya penuh, tentu B akan hanya kesal pada seatnya, bukan pada si A yang 'nggak ngajak-ngajak'.

Tapi dua hal ini sebenarnya bergantung pada preferensi masing-masing orang. Definisi perSAHABATan akan berbeda satu sama lain. Sahabat bisa kayak cinta juga, bertepuk sebelah tangan. Jadi memang harus berhati-hati menjaga jarak dengan teman (soal ini saya kayaknya punya gurunya) agar tidak terlalu banyak berharap (lagian seharusnya berharap mah cuma sama Allah). Hikmahnya adalah:

1. Jangan terlalu berharap pada makhluk, terlalu menganggap makhluk itu teman dekat kita yang kita sayangi sepenuhnya. Berharap, sayang, perhatian, cuma sama Allah dan keluarga, dan mungkin sahabat yang memang sudah satu frekuensi dengan kita.

2. Lebih berhati-hati lagi kalau ke depannya jadi pengurus suatu organisasi lagi, jangan-jangan langkah yang kita ambil menyakiti suatu pihak. Keep in mind bahwa kita nggak bakal bisa memuaskan semua orang, tapi senggaknya kita sudah mengambil langkah logis berperasaan yang walaupun ada orang yang mencela, kita yakin kalau keputusan itu sudah benar. Salah satu kuncinya adalah transparansi (tapi kalau transparansinya telat, kan jadi mengecewakan juga).

Sebenarnya ini cuma salah satu katarsis saya supaya perasaan kesalnya keluar. Ada juga yang bilang kalau ini terapi menulis. Saya juga mungkin salah, berlebihan menganggap temannya terlalu dekat dan pengurus organisasi seperti keluarga. Intinya saya cuma meluapkan kekecewaan saya, yang mudah-mudahan seiring waktu akan sembuh. Mungkin emang teguran dari Allah supaya nggak terlalu cinta sama selainNya, astagfirulloh.

UPDATE:
Sekarang setiap ada tokoh Indonesia berkunjung, organisasi ini dengan transparan mengumumkan sebelumnya, plus dikabari batas pengunjungnya dan lain-lain. Keren! Wuf yu muah muah.

Comments

Popular posts from this blog

It is (Not) the Beginning - Pembibitan Alumni PTAI 2013

Cerita ini dimulai sejak pelepasan alumni yang diadakan fakultas psikologi. Saat itu dekan mengumumkan bahwa ada peluang beasiswa ke luar negeri yang diprioritaskan untuk lulusan terbaik. Alhamdulillah untuk gelombang wisuda kali ini, saya menjadi lulusan terbaik dan tercepat. Seusai pelepasan, saya bergegas menghampiri Pak Agus-wakil dekan I (yang sudah mau masuk mobil), untuk bertanya lebih lanjut mengenai beasiswa tersebut. Beliau menjelaskan bahwa syarat lain yang harus saya penuhi adalah nilai TOEFL yang cukup, dan untuk pengumuman lebih detailnya, suratnya sedang difotokopi oleh Neyna-salah satu sahabat saya, jadi katanya nanti saya tinggal minta ke dia. Okay. Dan mulailah saya mencari-cari kursus TOEFL MURAH (yang sama sekali nggak mungkin murah) kemana-mana. Tapi kemudian saya memutuskan belajar sendiri dengan mengerjakan latihan di buku TOEFL (buku yang saya rekomendasikan untuk TOEFL ITP adalah “An Easy Way To Answer TOEFL” karya Otong Setiawan Djuharie). Saya juga mul...

Semester Terakhir di Postgraduate Diploma

Sebelumnya saya mau cerita soal skema studi yang harus saya lalui di Auckland Uni ini. Jadi studi master dengan total 2 tahun itu terdiri dari 1 tahun Postgraduate Diploma (PGDip) yang terdiri dari perkuliahan di kelas dan 1 tahun Master dengan penelitiannya. Jika nilai PGDip mencukupi, barulah saya diizinkan untuk lanjut ke Master. Alhamdulillah, meskipun dengan perasaan tegang sepanjang waktu karena di semester lalu nilai saya sedikit kurang memenuhi syarat, akhirnya di semester ini hasilnya lebih baik dan sayapun masih diberi kesempatan untuk melanjutkan Master. Berdasarkan pengalaman belajar semester sebelumnya, saya jadi lebih berhati-hati dalam memilih mata kuliah yang akan diambil di semester kedua ini. Kriteria yang saya pertimbangkan diantaranya:

Kia Ora

Menunggu Tahun ini adalah tahun dengan momen menunggu terbanyak sepanjang hidup, mulai dari menunggu Keke keluar kelas saat menjemputnya pulang sekolah, menunggu pengumuman seleksi beasiswa beberapa tahap, mengikuti proses pendaftaran universitas, menunggu visa keluar, menunggu pencairan dana setelah pengajuan, menunggu kabar atau konfirmasi dari pihak-pihak terkait keberangkatan, dan menunggu-menunggu lainnya. Tapi karena ini yang saya inginkan, maka menunggu itu menjadi suatu keindahan. Meskipun harus bertetes-tetes air mata, berdarah-darah, tetap saja rasanya nikmat (pada akhirnya). Setelah sesi menunggu visa berakhir, saya akhirnya mendapatkan tiket pesawat CGK-SYD-AKL untuk tanggal 18 Juli. Dan begitu melihat e-ticket masuk ke email saya, rasanya masih seperti mimpi. Beneran ini teh saya mau belajar ke luar negeri? Beneran ini teh saya mau ninggalin keluarga dan harus melewati masa menunggu yang menyiksa itu lagi? Beneran ini teh saya mau masuk ke kelas yang bahasanya full ...